Ketikaberbicara tentang warna merah, kita mengasosiasikannya dengan gairah, dengan darah; itu impulsif, eksplosif, berani. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa warna telah ditampilkan begitu menonjol di begitu banyak landasan pacu musim gugur. Apa cerita di balik sepatu merah?
Cerpen Anak ini akhirnya saya posting juga di blog, berhubung sudah dapat feedback dari Hujan Karya jadi rada pede, hoho. Saya masih lebih suka nulis cerpen anak, untuk cerpen dewasa hmm.. belum sempet bikin. In sya Allah akan dicoba. Silahkan masukannya yaa pembaca 🙂 Sepatu Merah Muda Dinda Oleh Monika Oktora “Bu.. sepatu merah muda Dinda mana?” tanya Dinda sambal membongkar-bongkar lemari sepatu. “Terakhir dipakai kan kemarin. Mungkin Dinda simpan di teras.” Ibu menjawab dari seberang dapur. Dinda menghambur ke teras, tapi sepatunya tetap tidak ditemukan. Dinda mencari ke halaman belakang, garasi, tapi si merah muda tidak kelihatan. Dinda pun menyerah dan terduduk di sofa. “Belum ketemu, Din?” Ibu menghampiri Dinda. Dinda menggeleng lemah. “Ya sudah, pakai saja sepatu yang lain. Nanti juga ketemu, mungkin Bik Nah membereskannya, nanti Ibu tanya Bik Nah kalau dia sudah datang.” Dinda pun mengangguk lemah, walaupun dalam hati dia masih tidak rela untuk memakai sepatu yang lain. Sepatu merah muda itu adalah hadiah dari Nenek Dinda saat kenaikan kelas 2, Dinda sudah memakainya selama 2 tahun. Sepatunya sangat nyaman dan cantik. Nenek Dinda sudah meninggal sejak setahun yang lalu. Dinda merasa sangat kehilangan. Setiap memakai sepatu pemberian neneknya, Dinda merasa seolah-olah melihat senyum Nenek. Ah.. Dinda jadi kangen Nenek. Dinda sudah mencari sepatunya di semua tempat di rumahnya, tapi sepatunya itu belum juga ditemukan. Dinda terpaksa mengambil sepatu yang lain, sepatu warna hitam berpita putih untuk dipakai ke acara ulang tahun Fani, sahabatnya. * “Dinda, ini sepatunya. Ternyata Bik Nah menjemurnya di atas. Katanya sepatunya kemarin basah setelah kamu kehujanan sepulang sekolah” Ibu menyambut Dinda di rumah sambal menunjukkan sepatu merah muda itu. “Makasih Ibu,” Dinda memeluk ibu. “Din, kalau sepatunya basah masih suka Dinda pakai ya?” Ibu bertanya dengan lembut. Dinda mengangguk pelan, takut Ibu mengomel karena Dinda memakai sepatu basah. Ibu menghela nafas, Ia tahu ini sulit untuk Dinda untuk melepaskan sepatu tersebut, tetapi Ia harus memberi tahu Dinda untuk kebaikannya. “Dinda.. sepatu merah muda Dinda sebenarnya sudah sempit kan, sudah 2 tahun Dinda pakai. Ibu perhatikan kakimu jadi lecet-lecet karena memakai sepatu yang sudah kesempitan. Mungkin sudah saatnya kamu simpan sepatunya. Dinda juga sudah punya sepatu lainnya kan yang lebih baru.” Ibu memakai kata “simpan” bukan “buang” karena Ibu tahu Dinda sangat menyayangi sepatu merah mudanya. Dinda terdiam, “Iya bu.. tapi, Dinda sangat suka sepatu yang dikasih Nenek.” Kata anak berusia 9 tahun itu terbata-bata. “Ibu mengerti sayang, Nenek juga pasti bahagia Dinda selalu pakai sepatu pemberian Nenek. Tapi Nenek juga pasti sedih kalau tahu kakimu jadi lecet seperti ni.” Dinda hanya mengangguk pasrah, tapi dalam hati dia masih tidak rela untuk menyimpan begitu saja sepatunya. * “Dinda, bisa tolong belikan lotek di Warung Yu Ratri? Ibu belum sempat masak. Kita makan siang dengan lotek Yu Ratri aja ya.” “Asiiik.. Dinda suka loteknya Yu Ratri.” Secepat kilat Dinda menuju Warung Yu Ratri yang hanya berjarak 300 meter dari rumahnya. Sambil menunggu Yu Ratri membuatkan lotek pesanannya, Dinda memperhatikan sekelilingnya. Warung Yu Ratri sangat sederhana, hanya berupa gerobak kecil teras rumahnya yang sempit. Yu Ratri, janda beranak dua itu, sangat pandai membuat lotek, gado-gado, dan rujak. Dengan berjualanlah Yu Ratri bisa menghidupi keluarganya. Hampir semua orang di komplek menjadi langgananan warungnya. Tiba-tiba mata Dinda melihat Aya, putri bungsu Yu Ratri yang masih kelas satu SD. Aya sedang siap-siap berangkat sekolah. Jadwal sekolahnya memang siang. “Bu, Aya sekolah dulu ya.” Kata Aya sambail mencium tangan ibunya. “Iya, Nak hati-hati.” Yu Ratri melambai pada Aya. Sekolah Aya tidak jauh dari komplek, hanya sekolah negeri sederhana, tapi Aya sudah berani berangkat sendiri. “Yu, Aya kok sekolah pakai sandal?” Tanya Dinda. “Oh iya itu sepatunya sudah jebol beberapa minggu yang lalu. Yu mau belikan yang baru tapi tabungannya tidak cukup karena sebelumnya baru saja membelikan Aya dan kakaknya buku sekolah. Minggu depan baru mau beli.” Yu Ratri menjelaskan sambal mengulek bumbu lotek. “Memang sama sekolahnya gak papa, Yu?” Dinda penasaran. “Untunglah kata gurunya ngerti.” Dinda termenung dan teringat kata-kata Neneknya. ”Berbuat baik yang paling utama itu adalah ketika kamu memberikan barang yang paling kamu sayangi untuk orang yang membutuhkan.” Tiba-tiba Dinda merasakan suatu dorongan dalam hatinya, “Yu Ratri, sebentar ya Dinda pulang dulu nanti kembali lagi sekalian ngambil pesanan.” Dinda langsung menghambur ke rumah. Begitu sampai di rumah, Ibu sangat keheranan, “Lho, kok cepat sekali beli loteknya, Din?” “Belum bu, sebentar..” Dinda tergesa mengambil sepatu kesayangannya, tanpa memedulikan ibunya yang keheranan. “E-eeh.. Mau ke mana lagi sayang?” “Mau ngasih sepatu ini untuk Aya bu, dia gak punya sepatu, kasihan ke sekolah cuma pakai sandal. Mungkin sepatu ini akan lebih berguna untuk Aya. Dinda juga gak perlu membuangnya, Dinda bisa melihat sepatu ini setiap ke Warung Yu Ratri, dan Dinda yakin nenek di sana juga pasti senang. Udah ya Dinda pergi lagi, Bu” Dinda menjelaskan panjang lebar sambal tergesa berlari. Seketika hati ibu menghangat, Ah.. Dinda sudah semakin dewasa. ***
Ceritaini berkisah tentang seorang anak tiri bernama cinderella. Cerita dongeng putri dan kacang polong di artikel ini merupakan terjemahan dari prinsessen paa ærte alias princess and the pea karya penulis dari belanda, hans christian andersen. Dari sekian banyak cerita dongeng, kisah para putri biasanya digemari anak perempuan.
Karen adalah seorang anak yang amat cantik. Ia tinggal bersama ibunya yang sedang sakit keras. Karena ibunya tak lagi bisa berekja, maka Karenlah yang bekerja. Ia mencuci dan membersihkan rumah para tetapi uang yang di peroleh sangatlah sedikit. Karen sangat miskin ia tidak mampu membeli sepatu, sehingga ia selalu berjalan dengan bertelangjang kota tempat Karen tinggal ada sebuah toko sepatu. Ibu pemilik toko sepatu itu selalu iba ketika melihat Karen yang berjalan tanpa alas kaki.“Kasihat anak itu, aku akan membuatkan sepasan sepatu untuknya” batin ibu itu. Lalu ia membuat kan sepasan sepatu merah untuk Karen.“Indah sekali, terima kasih bu!” Karen yang tak bisa menahan rasa gembiranya. Lalu ia bergegas pulang karena ingin memperlihatkan sepatu barunya kepada ibunya.“Sepatu yang sangat cantik…benar-benar bagus…” kata ibunya dengan suara kecil yang terbata-bata. Ssetelah itu ibunya menutup mata perlahan-lahan.“Ibu, ibu kenapa? Ibu!!!” Karen terus menangis sambil memanggil-manggil saat hari pemakaman.“Seharusnya aku memakai sepatu hitam, tapi aku tidak punya uang untuk membelinya. Tak mungkin pula aku bertelangjan kaki pada saat uacara pemakaman.” kata Karen dalam sangat terpaksa ia menggunakan sepatu merahnya.“Indahnyaa” lirihnya dalam hati penuh rasa bangga. Pergilah Karen ke pemakaman ibunya dengan sepatu merahnya. Orang-orang terkejut melihat Karen berjalan di samping peti jenazah dengan sepatu itu.“Anak yang aneh, memakai sepatu merah pada saat upacara pemakaman” gumam mereka tahu bahwa itu tak pantas, tapi apa boleh buat hanya itu sepatu yang ia miliki. Ia tak ingin bertelanjang kaki di hari pemakamam tengah jalan di seberang makam, lewatlah sebuah kereta kuda yang besar. Tiba-tiba kereta itu berhenti dan turunlah seorang nenek yang kelihatannya kaya. Nenek itu merasa iba melikat Karen sebatang kara.“Bolehkah saya memelihara anak ini pak pendeta?” pinta nenek saja pak pendeta justru amat bahagia karena kehidupan Karen mengira berkat sepatu merahnya, namun dugaan Karen salah. Saat melihat sepatu yang dikenakan nenek itu malah berkata “Kau tidak boleh memakai sepatu merah saat pemakaman” Karen menurutinya dan segera itu Karen dibesarkan dengan kasih saying. Ia tumbuh menjadi gadis yang cantik, siapapun akan mengakui kecantikannya. Suatu hari nenek mengajak Karen ke toko sepatu untuk membeli sepatu hitam. Tapi Karen justru bertarik kepada sepasang sepatu merah.“Sepatu merah yang indah! Aku pilih ini saja. Nenek pasti tidak tahu. Penglihatannya kan sudah kabur.” Kata KarenTernyata benar dugaan Karen. Nenek tidak mengetahui warna sepatu yang harinya, Karen pergi ke gereja dengan sepatu merah. Orang-orang terkejut melihatnya. “Ya ampun gadis itu dating ke gereja memakai sepatu merah…”kata orang-orang membicrakannya. Sementara orang lain berdoa dan mendengarkan pendeta Karen hanya berpikir tenteng sepatu merahnya. Uparara doa selesai. Saat nenek dan Karen hendak pulang, seseorang memberitahunkan nenek tentang sepatu merah yang digunakan Karen. Nenek amat sangat itu Karen berjanji kepada nenek untuk tidak memakai sepatu merah ke gereja lagi. Namun, pada minggu selanjutnya Karen mengulaginya lagi. Di depan gereja berdiri seorangf prajurit yang sudah tua. Ketika meihat Karen menggunakan sepatu merah, didekatinya Karen dengan wajah yang menakutkan. “Sepatu merah melekatlah pada kaki anak itu dan menarilah!” katanya pada sepatu berpura pura tak mendengar. Lalu ia masuk ke gereja, dicobanya berdoan dengan khusyuk, tapi pikirannya masih tetap kepada sepatu merah. Tak lama kemudian, upacara doa pun Karen hendak naik ke kereta kuda, prajurit yang tua mendekatinya lagi.“Sepatu merah, menarilah!” saja Karen mulai menari tanpa kendali. Sepatu merah membuatnya berputar-putar tanpa dapat di kendalikan.“Aa…. Tolooong !!” teriak Karen ketakutan.. Karen berusaha menghentikannya, tetapi sepatu merah tetap menari sesuai kehendaknya pejalan kaki berusaha membantu Karen melepas sepatunya. Namun sepatu merah itu menendang-nendang mereka, juga nenek. Karen bertambah bingung. “Buang saja sepatu itu” teriak nenek saking hari datang undangan pesta dari istana. Saat itu nenek sedsng sakit keras, dan Karen harus merawatnya. Namun, Karen ingin sekali dating ke pesta itu. Nenek yang baik hati, mengizinkan Karen pergi.“Karen, jangan pakai sepatu merah itu.. bagaimana bagusnya…” pesan tetapi Karen tidak mempedulikannya. Ia tetap memakai sepatu merahnya, dan pergi ke istana meninggalkan nenek yang sedang di istana, Karen langsung diajak oleh pangeran untuk berdansa dengannya.“Benar-benar seprti mimpiii…” kata Karen dengan bangga.. Sepatu itu membawa Karen menari tanpa henti lsgi. Dengan kemauannya sendiri sepatu iti berputar ke kanan dan ke kiri dengan sama sekali bukan tarian yang indah. Pangeran dan tamu lainnya terkejut berusaha menuruni tangga istana. Sepatu merah it uterus menari tanpa kendali.“Tolong lepaskan sepatu ini!” teriak Karen. Tak seorang pun dapat menghentihan Karen. Mereka hanya bisa melihat Karen dengan perasaan iba. Sambil terus menari, ia masuk ke rima yang gelap. Disana ia betemu dengan prajurit yang sama.“Hey, sepatu merah menari nlah lebih cepat” teriak prajurit itu.“Aku mohon hentikan” teriak Karen. Namun sepatu merah itu menari lebih cepat dan membawa Karen menari sampai sampailah Karen di sebuah makam. Disana sedang ada upacara pemakaman. Ternyata itu adalah upacara pemakaman nenek yang telah merawatnya.“Nenek maafkan aku, aku telah meninggalkanmu.” Ratap Karen dalam hari telah tiba, Karen terus menari melewati duri-dri semak yang telah menusuk badannya.“Sakiit…! Toloong…! Maafkan aku!” teriak Karen. Sepatu merah itu membawa Karen ke sebuah pondok penebang kayu.“Aku mophon potong kakiku. Jika tidak dia akan terus membuatku menari.” Pinta Karen kepada penebang kayu sambil menangis. Tanpa bisa berbuat penebang kayu itu memotong kaki Karen. Kaki yang terpotong itu masih menari dan masuk ke hutan tubuh Karen berhenti bergerak. “Terima kasih, Tuhan. Aku ini hanyalah anak jelek yang mementingkan diri sendiri” sesal Karen dalam kayu itu merasa iba melihat Karen, dan ia membuatkan Karen sepasang kaki palsu yang terbuat dari kayu. “Mulai sekarang, jadilah anak yang baik” kata Penebang kayu kepada kemudian kembali ke gereja dan bekerja tekun disana. Bila pekerjaannya telah selesai, ia berdoa pada tuhan dengan sungguh-sungguh. Ia selalu mendoakan neneknya dan tak lupa mohon ampun atas segala hari ia berdoa dengan hati yang bersih. “Nenek, aku ingin menjadi anak yang baik,” janjinya didepan makm suatu hari, datanglah seorang bidadari di hadapan Karen. “Karen kau telah menjadi anak yang baik, tuhan telah memaafkanmu,”kata sang bidadari. Kebaikan hati Karen telah sampai ke surga. Di hadapan Karen kuini tampak jalan yang bersinar. Jalan itu menuju surga. Mata Karen berkaca-kaca Karen bahagia. Dengan wajah bersinar ia naik ke surga bersama sang Bidadari.
Karya yang dikenakan Beyonce sebenarnya terbuat dari potongan-potongan krom yang saya temukan selama salah satu ritual saya berjalan-jalan di distrik mode Los Angeles. Saya tidak tahu banyak tentang konstruksi garmen menggunakan kain, jadi saya cenderung tetap pada satu blok toko yang memiliki banyak hiasan unik, rhinestones, dan manik-manik."
"Sepatu Merah" Denmark De røde sko adalah sebuah dongeng sastra karya penyair dan pengarang Denmark Hans Christian Andersen yang mula-mula diterbitkan oleh Reitzel di Copenhagen pada 7 April 1845 dalam New Fairy Tales. First Volume. Third Collection. 1845. Nye Eventyr. Første Bind. Tredie Samling. 1845.. Cerita-cerita lain dalam volume tersebut meliputi "The Elf Mound" Elverhøi, "The Jumpers" Springfyrene, "The Shepherdess and the Chimney Sweep" Hyrdinden og Skorstensfejeren, dan "Holger Danske" Holger Danske.[1] The Red Shoes Ilustrasi karya Vilhelm PedersenPengarangHans Christian AndersenJudul asliDe røde skoNegaraDenmarkBahasaDenmarkGenreDongeng sastraPenerbitC. A. ReitzelTanggal terbit7 April 1845Jenis mediaCetak
Kepribadianantara Bawang Putih dan Bawang Merah yang berbeda tersebut membuat mereka berdua tidak mudah akrab. Sementara ibu tiri Bawang Putih hanya memanjakan Bawang Merah dan seolah tidak peduli dengan Bawang Putih. Bawang Putih diharuskan oleh ibu tirinya menyelesaikan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang Merah hanya bersantai - santai.
Choose a language Dahulu kala ada seorang gadis yang sangat miskin yang selalu berjalan dengan kaki telanjang. Pada hari ibunya meninggal, Karen, begitulah namanya, diberi sepasang sepatu merah oleh Ny. Shoemaker. Sepatu kecil itu terbuat dari kain, tapi itu adalah sepatu terindah yang pernah dimiliki Karen. Saat Karen berjalan di belakang peti mati ibunya dengan sepatu merahnya, sebuah kereta yang luar biasa lewat. Wanita tua kaya didalam kereta melihat Karen berjalan dan mengasihaninya. “Datang dan tinggallah bersamaku, gadis manis,” katanya. Dan begitulah yang terjadi. Karen datang untuk tinggal bersama wanita tua itu dan diberi pakaian baru yang indah. Sepatu merah itu dibuang karena wanita tua itu menganggapnya mengerikan. Karen menyesal tentang itu, tetapi jauh lebih bahagia daripada sebelumnya. Suatu hari ratu datang ke kota dengan putri kecil. Semua orang datang untuk melihat sang putri. Karen juga ingin melihat gadis kecil itu sekilas. Ketika dia melihat sang putri berdiri di sana, dia melihat gadis kecil itu mengenakan sepatu merah yang indah. Sepatu putri jauh lebih cantik daripada sepatu merah yang dulu dimiliki Karen. Dia sedikit iri Kalau saja aku punya sepatu seperti itu sendiri,’ pikirnya. Beberapa tahun kemudian Karen cukup umur untuk diterima di gereja. Dia menerima pakaian baru khusus untuk tujuan ini. Wanita tua itu juga mengijinkannya membuat sepatu baru. Ditempat pembuat sepatu, Karen segera melihat sepatu merah yang indah, persis seperti yang dipakai sang putri bertahun-tahun yang lalu. Karen langsung tahu bahwa dia ingin sekali sepatu ini. Wanita tua itu tidak akan pernah menyetujuinya, tetapi karena dia tidak bisa lagi melihat dengan baik, Karen tetap memutuskan untuk membeli sepatu itu. Keesokan harinya, Karen berjalan melewati gereja dengan sepatu barunya. Tidak ada yang bisa mengalihkan pandangan dari sepatu kulit yang jelas mencolok itu. Tentunya ini bukan sepatu yang kamu pakai di gereja! Sementara itu, Karen tidak bisa memikirkan hal lain. Akibatnya, dia nyaris tidak mendengar apa yang dikatakan pendeta dan melewatkan kebaktian penting. Dia bahkan lupa berdoa. Ketika Karen keluar dari gereja dengan wanita tua itu setelah kebaktian selesai, ada seorang tentara tua berdiri di pintu. Prajurit itu melihat sepatu Karen dan berkata, “Itu sepatu untuk menari, bukan untuk ke gereja. Dia mengetuk sol sepatu. Tetap mantap saat menari’. Karen mendadak mendapat perasaan yang tak tertahankan bahwa dia harus menari. Dengan hati-hati dia melakukan satu langkah tarian dan tiba-tiba tidak bisa berhenti menari. Dia dimasukkan kedalam kereta wanita oleh para pengawas, tetapi disanapun dia tidak berhenti menari. Dia bahkan menendang wanita tua itu! Untungnya, mereka kemudian melepaskan sepatu merah dari kakinya dan kakinya menjadi tenang. Di rumah, sepatu itu langsung masuk ke lemari, tetapi Karen tidak bisa melupakan sepatu itu. Beberapa waktu kemudian, wanita tua itu jatuh sakit. Karen merawatnya sebaik mungkin, sampai suatu hari dia mendengar bahwa akan ada pesta besar malam itu. Karen memakai sepatu merahnya dan meninggalkan wanita tua itu sendirian. Tapi begitu Karen membuat satu langkah dansa, sepatu itu mengambil kendali lagi. Karen tidak bisa menahan diri untuk tidak menari. Sepatu itu membawanya jauh ke dalam hutan yang gelap. Saat itu, Karen ketakutan dan sedih. Dia mencoba melepas sepatu kecil itu, tetapi sepatu itu benar-benar tersangkut di kakinya. Dia menyesali keputusannya untuk meninggalkan wanita tua itu sendirian dan merasa sangat bersalah. Karen menari siang dan malam, melintasi ladang dan jalan, dan terkadang melintasi kota. Belum pernah sebelumnya dia merasa begitu sendirian. Suatu hari Karen menari melewati rumah algojo. “Tolong aku!” dia memanggilnya. Dan dia melakukannya. Dia memotong sepatu dari kaki Karen dan membuat kaki kayu baru yang indah untuknya. Sementara itu, sepatu terus menari, menuju cakrawala. Karen dengan cepat kembali ke kota, di mana dia menjalani kehidupan yang baik dan tenang. Dan dia tidak pernah lagi mencari pakaian cantik. Downloads Ebook PDF – Unduh dan Cetak
Cerita1. BAWANG MERAH dan BAWANG PUTIH. Pada zaman dahulu kala hiduplah keluarga bahagia yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan seorang anak bernama bawang putih yang cantik jelita, lemah lembut dan rajin. Walaupun ayahnya hanya seorang pedagang tapi kehidupannya sangat bahagia.Alkisah, dahulu kala hiduplah seorang gadis kecil yang cantik jelita. Dia tinggal disebuah desa dengan kehidupan yang sangat miskin. Ketika musim panas tiba, gadis kecil itu terpaksa bertelanjang kaki karena tak punya sepatu yang layak dan ketika musim dingin tiba, dia hanya bisa pasrah memakai sepatu kayu yang kebesaran hingga membuat kaki kecilnya menjadi merah karena kedinginan. Di tengah pedesaan tempatnya tinggal, hiduplah seorang pembuat sepatu dan istrinya, kala itu sang istri sedang membuat sepasang sepatu merah dari selembar kain tua. Terlihat agak lusuh dan tidak terlalu bagus, namun pasti sangatlah berguna untuk gadis kecil bernama Karen itu ujar sang istri kepada suaminya. Karen pun menerima sepatu itu dengan senang hati, dia memakainya pertama kali di pemakaman ibunya. Dan sayangnya sepatu itu terlihat sangat kontras ketika dipakai di acara pemakaman, tapi mau bagaimana lagi, Karen tidak punya sepatu lain, lalu dengan berat hati dia terpaksa melepaskan sepatu itu dan kembali berdiri di belakang peti ibunya. Lalu tiba-tiba datanglah sebuah kereta kuda, diatasnya duduk seorang wanita tua, dia melihat kearah Karen, dan merasa kasihan pada gadis yang kini telah yatim piatu itu. Lalu sang wanita tua berkata kepada pendeta "Permisi, bolehkah aku mengadopsinya? jika boleh, maka aku akan merawat gadis kecil itu dengan baik." Karen mengira wanita itu melakukannya karena ingin mendapatkan sepatu merah miliknya, tapi wanita tua itu berkata kalau dia salah, menurutnya sepatu merah itu terlihat mengerikan juga jelek, dan karena itu juga ketika dia membawa Karen pulang, dia langsung membakar sepatu merah itu. Karen yang sekarang adalah seorang gadis cantik yang berpenampilan rapi dan bersih, dia diajarkan membaca dan menjahit, dan menurut orang-orang di sekitarnya, dia terlihat sangat manis. Namun cermin berkata lain, "Kamu lebih dari manis-kamu sangatlah cantik." Suatu hari, Ratu yang sedang berkeliling di daerah kerajaan menyinggahi kota tempat Karen tinggal, Ratu membawa serta seorang putrinya. Semua orang, termasuk juga Karen, ramai-ramai menuju istana, tempat dimana putri kecil itu tinggal, dia memakai gaun putih yang indah, berdiri di depan jendela, dan menyapa semua orang yang melihatnya. Dia tidak memakai mahkota emas atau iring-iringan ala kerajaan, tetapi dia memakai sepasang sepatu merah yang sangat indah dan terlihat jauh lebih cantik daripada sepatu merah yang diberikan oleh istri sang pembuat sepatu. Tak ada yang lebih bagus di dunia ini selain sepatu merah yang ia pakai! Karen kini sudah beranjak remaja, dia menerima banyak baju baru dan juga sepatu baru. Karen pun mengunjungi pembuat sepatu yang terkenal di kota untuk menempa sepatu baru. Di ruangan itu terlihat banyak sepatu yang sangat indah, tapi sayang sang pembuat sepatu itu tidak bisa melihat terlalu jelas. Jadi dia tidak tahu betapa indahnya sepatu-sepatu yang telah ia buat. Diantara semua sepatu yang ada, ada sebuah yang sangat menarik hati Karen. Yaitu sepatu yang persis sama dengan yang Putri pakai. Sepatu merah yang cantik sekali! Namun sang pembuat sepatu menjelaskan pada Karen, jika sepatu itu adalah pesanan seorang Count untuk putrinya sendiri, dan ukurannya tak akan pas di kaki Karen. "Aku rasa itu dibuat dari kain yang sangat bagus kan?" tanya sang wanita tua "Sepatu itu terlihat sangat berkilauan." "Ya, sepatu itu sangat berkilauan," ujar Karen. Saat Karen mencobanya, ternyata sepatu itu sangat cocok untuknya, merekapun langsung membelinya. Tapi sang wanita tua tidak tahu, mengapa sepatu itu berwarna merah, andai saat itu ia tahu, dia pasti tak akan mengizinkan Karen memakainya seperti sekarang ini. Di hari pembaptisan, ketika Karen hadir di gereja, semua pandangan dari depan pintu gereja sampai ke tempat paduan suara hanya tertuju padanya, mereka seperti tersihir dan melihat sepatu merah yang dikenakan Karen. Saat semuanya seperti terhipnotis, suara dari Pendeta-lah yang menyadarkan mereka kalau acara akan dimulai, dia mulai menyentuh kepala Karen untuk segera membaptisnya atas nama Tuhan, dan berkata pada Karen kalau sekarang dia telah diangkat menjadi seorang Kristiani. Suara organ kini menggema diseluruh ruangan, dan suara indah dari anak-anak yang bernyanyi telah menyatu dengan suara para orang tua yang berdoa, namun Karen tidak peduli, dia hanya sibuk dengan sepatu merah indahnya, dia menggerak-gerakkan kakinya untuk melihat betapa berkilaunya sepatu merah itu. Sang wanita tua mendengar dari orang-orang kalau Karen hanya sibuk dengan sepatu merahnya sendiri saat berada di gereja, itu adalah tindakan yang sangat tidak sopan dilakukan, dan saat itu Karen dihukum dengan hanya boleh menggunakan sepatu hitam saat ke gereja, meskipun sepatu hitamnya sudah jelek semua. Di Minggu selanjutnya Karen harus menghandiri Communion. Karen memilih-milih sepatu yang ada, dia melihat ke sepatu hitam, lalu... merah. Melihat ke yang hitam, lalu merah lagi. Dan dia memutuskan untuk tetap memakai yang merah. Matahari bersinar sangat terik, Karen dan sang wanita tua memilih melewati kebun jagung yang agak berdebu dan tidak terlalu silau. Di depan pintu gereja, ada seorang tentara tua yang telah lumpuh, dia memiliki janggut yang sangat panjang, lebih ke merah-merahan daripada putih, terlihat sangat aneh, dia menundukkan badan dan berkata kepada sang wanita tua "Maukah anda bila sepatunya saya bersihkan?" Lalu Karen segera menyodorkan sepatunya untuk dibersihkan. "Oh sayang, betapa cantiknya sepatu tari ini!" kata sang tentara lumpuh. "Duduklah, ketika kau akan menari." ujar sang tentara tua kepada sepatu itu dan dia mulai membersihkannya. Lalu sang wanita tua memberikan dia uang dan masuk ke gereja bersama Karen. Semua orang yang ada di dalam gereja lagi-lagi hanya tertuju kepada sepatu Karen. Ketika Karen menunduk di depan Altar dan melihat kebawah untuk mengambil cawan emas, dia tertuju kepada sepatu merahnya sendiri. Dia merasa terhanyut sampai-sampai lupa melantunkan Psalm dan lupa mengucapkan "Lord's Prayer." Kini semua orang telah beranjak keluar dari gereja, dan sang wanita tua melangkah masuk ke dalam kereta kudanya. Karen mengangkat kakinya untuk masuk ke dalam juga, namun sang tentara tua tiba-tiba datang dan berkata "Oh sayang, betapa cantiknya sepatu tari mu!" dan Karen tak bisa menolak paksaannya untuk menari beberapa langkah, dan ketika dia mulai menari, kakinya terus melanjutkan. Rasanya seperti sang sepatu memiliki kekuatan untuk mengendalikan kakinya. Dia terus menerus menari tanpa henti di dalam gereja, berputar ke sudut ruangan satu dan lainnya, dia tak bisa menghentikan kakinya sendiri. Sang Kusir mengejarnya dan menahannya. Dia membawa Karen masuk ke kereta kuda namun kaki Karen tetap tak bisa berhenti menari, dia menendang kesana kemari hingga mengenai sang wanita tua. Sampai akhirnya mereka melepaskan sepatu merah itu dari kaki Karen, dan kakinya baru bisa berhenti bergerak saat itu. Saat sampai di rumah, sepatu itu disimpan rapi ke dalam rak. Namun Karen tetap tak bisa berhenti memikirkannya. Beberapa saat kemudian, sang wanita tua jatuh sakit, dan dokter berkata kalau ia tak akan bisa bangun lagi dr tempat tidur. Dia harus dirawat dan diasuh, dan kewajiban ini tak lain tak bukan adalah milik Karen. Tapi saat itu, Karen bingung, ada sebuah pesta besar yang dihelat di tengah kota, dan Karen diundang untuk datang. Dia melihat kepada sepasang sepatu merah dan meyakinkan dirinya sendiri kalau tak ada salahnya jika ia memakai sepatu merah itu, toh tidak ada yang akan terluka saat ini, dan dia berangkat pergi ke pesta dan mulai berdansa. Tapi ketika ia ingin berdansa ke kanan, sang sepatu malah membawa kakinya ke kiri, dan ketika dia ingin berdansa ke atas, sang sepatu malah membawa kakinya ke bawah. Keluar ke jalan dan melangkah keluar dari gerbang kota. Dia menari dan terus dipaksa untuk menari, jauh ke dalam hutan yang gelap. Dan seketika sesuatu yang bercahaya terang terlihat bersinar diantara pepohonan, dia mengira ini adalah cahaya bulan tetapi benda itu memiliki wajah! Lalu terlihatlah sang tentara tua dengan janggutnya yang merah duduk dan menganggukkan kepalanya "Oh sayang, betapa cantiknya sepatu tari itu!" Kini Karen ketakutan, dia ingin segera membuang sepatu merah itu, namun tak bisa karena terlalu lekat di kakinya. Dia merobek stockingnya namun sepatu merah mengecil hingga menjadi sangat ketat di kakinya. Dia terus menari, dan dipaksa untuk terus menari melewati ladang dan padang rumput, di kala hujan atau hari yang terik, siang dan malam, dan ketika malam tiba, sepatu itu lebih menggila. Lalu dia menari menuju halaman pemakaman, namun dia tahu orang yang telah mati tidak ikut menari. Mereka punya sesuatu yang harus dilakukan dan lebih penting daripada itu. Karen ingin duduk di makam sang fakir yang ditumbuhi pohon pakis rindang, tetapi untuknya tetap tak ada istirahat ataupun kedamaian. Dan ketika dia menari menuju pintu gereja yang terbuka, disana tampak seorang malaikat berbalut jubah putih, dengan sayap mengembang dari pundaknya sampai kebawah, wajahnya tampak tegas dan serius dan dia memegang sebuah pedang besar yang bercahaya. "Menarilah semampumu," katanya, "menarilah dengan sepatu merahmu sampai kau pucat dan demam, sampai kulit kakimu mengelupas dan kau menjadi tulang belulang! Menarilah dari pintu ke pintu, dimana anak-anak dengan kesombongan dan kejahatan itu hidup, lalu kau menunjukkannya dan mereka akan takut kepadamu! Menarilah semampumu, menarilah!" "Aku tidak mau seperti ini, kumohon malaikat, ampuni aku..." tangis Karen. Tapi dia tak bisa mendengar apa yang malaikat itu jawab, karena sepatu itu telah membawanya menjauh dari gereja, menuju padang rumput yang luas, melewati jalan-jalan dengan membuatnya terus menari. Di suatu pagi dia menari melewati tempat yang sangat ia tahu, yaitu rumah sang wanita tua, tempat itu sedang berkabung, mereka menyanyikan Kidung di dalam, dan sebuah peti mati yang dihiasi dengan bunga terlihat. Dan saat itu Karen tahu ia telah ditinggalkan oleh sang wanita tua dan dikutuk oleh malaikat Tuhan. Dia terus menari dan dipaksa menari di tengah kegelapan malam. Sepatu merah menginjakkan kakinya diatas duri dan tunggul sampai kaki Karen menjadi berdarah-darah, dia menari menjauh, menuju sebuah rumah kecil di dalam hutan. Dia tahu, disana hiduplah seorang tukang jagal, Karen mengetukkan jemarinya ke jendela rumah itu dan berkata "Keluarlah, tolong keluarlah tuan! Aku tak bisa masuk karena sepatu ku membuatku terus menari." Lalu sang tukang jagal menjawabnya "Saya tidak tahu siapa anda, tapi saya suka memenggal kepala orang yang jahat dan sepertinya sekarang tanganku kesemutan untuk segera melakukannya." "Tolong jangan penggal kepala ku!" ujar Karen, "aku tak akan bisa menebus dosa-dosaku. Tapi cukup potong kakiku saja." Lalu Karen mengakui semua dosa-dosanya, dan sang tukang jagal mengayunkan kapaknya ke kaki Karen untuk melepaskan sepatu merah itu, namun sepatu merah membawa lari kaki kecil Karen masuk ke dalam hutan. Sang tukang jagal yang merasa kasihan, mengukirkan kaki kayu untuk Karen dan membuatkannya tongkat serta mengajarkannya Kidung yang selalu dinyanyikan oleh orang-orang yang ingin bertaubat. "Kini, aku sudah cukup sangat menderita karena sepatu merah," ujar Karen; "Aku akan pergi ke gereja sehingga orang-orang bisa melihatku lagi." Karen pun segera berangkat menuju gereja, namun saat dia tiba, dia melihat sepatu merah telah menari-nari disana, Karen sangat ketakutan dan dia segera pergi dari tempat itu. Selama seminggu dia terus bergelimang air mata, dan menangisi nasibnya, namun ketika Minggu tiba dia berkata "Aku telah sangat menderita dan berjuang dengan susah payah. Aku percaya kalau aku pantas duduk di gereja dan ikut berdoa." Lalu dia dengan sangat percaya diri berangkat ke gereja lagi namun baru saja sampai di gerbang gereja, dia telah melihat sang sepatu merah menari lebih dulu. Karen ketakutan dan segera kembali pulang untuk merenungkan semua dosa-dosanya. Dia pergi ke rumah pendeta dan memohon untuk menolongnya disana. Dia akan sangat membantu dan siap melakukan apapun yang sanggup ia lakukan, dia tidak keberatan jika tidak diupah selama dia bisa tinggal dilotengnya dan berlaku baik kepada orang lain. Istri pendeta menjadi kasihan kepadanya dan menerimanya bekerja disana. Karen sangat rajin dan banyak membantu. Di sore hari dia duduk dan mendengarkan ketika pendeta membacakan mazmur. Semua anak-anak sangat menyukainya, namun ketika mereka bertanya kenapa Karen selalu memakai rok kepanjangan dia akan menggeleng dan tidak menjawab apapun. Di suatu Minggu sore, mereka semua berangkat ke gereja, mereka bertanya kepada Karen apakah dia ingin pergi juga, dan dengan air mata menggenangi wajahnya dia memandangi tongkatnya, dia tahu dia tak akan bisa pergi. Dan ketika semua orang ingin mendengar Mazmur, dia hanya bisa menyendiri di ruangan kecilnya yang hanya terdiri dari sebuah kasur dan kursi. Disini dia membaca dengan khusyuk Alkitabnya, angin membawa serta suara organ dari gereja, dan dengan air mata berlinang dia memohon "Oh Tuhan, tolong aku." Lalu seketika, cahaya matahari menyeruak dan di hadapannya muncullah seorang malaikat berbalut jubah putih, dia terlihat sama dengan malaikat yang pernah ia temui sebelumnya di gereja. Dia tak lagi membawa pedang besar di tangannya, tapi membawa ranting berwarna hijau penuh dengan bunga mawar, dengan itu dia menyentuhkan tangannya ke atap-atap dan terbang keatas, dimana dia bisa menyentuh bintang emas. Dia menyentuh dinding dan terlihatlah sebuah tempat, dimana ada organ yang terus berdentang; disana dia melihat gambaran sang Pendeta dan istrinya serta para jemaah yang memenuhi tempat duduk yang ada di gereja serta menyanyikan Kidung-kidung indah. Karen merasa gereja itu yang mendatangi ruangannya? atau sesungguhnya dialah yang telah hadir di dalam gereja. k Karen segera duduk di bangku gereja bersama dengan orang-orang yang tinggal di rumah Pendeta dan ketika mereka berhenti menyanyikan kidungnya, mereka mengangguk dan berkata "Kamu berhak untuk datang, Karen." "Ini adalah kasih Tuhan," ujar Karen. Dan suara organ terus terdengar diiringi dengan nyanyian paduan suara gereja yang sangat merdu dan indah. Hangatnya cahaya matahari menembus jendela sampai ke bangku gereja tempat Karen duduk, hatinya dipenuhi dengan kedamaian dan kebahagiaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, sampai akhirnya dia melebur menjadi satu dengan cahaya itu. Jiwanya terbang terbawa cahaya menuju surga, dan disana tak ada seorang pun yang pernah menyebutkan tentang sepatu merah. NB Aku suka banget cerita ini... inspiratif dan menyadarkan kalau tak ada hal yang baik datang dari sebuah keserakahan. ^___^ So, be nice, be humble, syukuri apa yang telah dimiliki dan lakukan sesuatu hal yang sesuai dengan kondisinya, tidak ada hal baik yang datang dari bertindak semaunya. Happy Easter Someday you will be old enough, to start reading fairy tales again
BeliProduk Sepatu Prewalker Anak Bayi Import Berkualitas Dengan Harga Murah dari Berbagai Pelapak di Indonesia. Tersedia Gratis Ongkir Pengiriman Sampai di Hari yang Sama.
Umumnyadongeng berisi cerita singkat tentang hal-hal yang tidak masuk akal. Mislanya tentang keajaiban dan kesaktian tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Singkat cerita, Cinderella mencoba sepatu kaca itu dan cocok di kakinya. Pengeranpun merasa gembira dan berkata "kaulah putri yang selama ini aku cari". 12. Putri Rambut Merah dan Sebuahbangunan bekas pabrik sepatu di kawasan Tangerang menghadirkan cerita seram di tengah warga sekitar. Bukan hanya karena kondisi bangunan yang sudah puluhan tahun kosong tak terpakai, tapi juga tentang peristiwa kelam di masa lalu dibalik bangunan tak terurus yang nyaris tak terjamah manusia itu.Kendramemang suka tidur, bahkan kalau akhir minggu atau hari libur, Kendra baru memulai harinya sekitar pukul sepuluh. Kendra kesal karena sepasang sepatu merah marun kesayangannya tidak ditemukan di rak sepatu. Itu sepatu yang dibelinya di toko barang vintage saat liburan mengunjungi tantenya di Italia.
Ξዛնጉмижο ծиካոл
Нтሥзሢту θጻанοз ш
Рጏծеж ውիζοтр ав ղο
Աпιπխчοвр αኒεጉис х
Ф ο րጮкጵчωчакр
Sudahhampir 5 tahun sepatu ini menemani ke manapun aku pergi. Bagian terakhir yang dituliskan di buku adalah bagian rangkaian peristiwa yang dialami oleh tokoh. Sepatu butut itu begitu menggangu pandanganku. Melanjutkan cerpen tentang sepatu butut. Entah sudah berapa kali aku mengatakan padanya untuk mengganti sepatu bututnya itu.Artidari mimpi sepatu merah adalah : anda akan mendapat petunjuk atau pembuktian dari seseorang yang membuat anda merasa menyesal dengan apa yang telah anda lakukan meski sebelumnya anda percaya bahwa semua yang anda lakukan tidak akan berdampak buruk.
SepatuMerah " Sepatu Merah " ( Denmark: De røde sko) adalah sebuah dongeng sastra karya penyair dan pengarang Denmark Hans Christian Andersen yang mula-mula diterbitkan oleh C.A. Reitzel di Copenhagen pada 7 April 1845 dalam New Fairy Tales. First Volume. Third Collection. 1845. ( Nye Eventyr. Første Bind. Tredie Samling. 1845. ).
Adabanyak cara untuk memaknai Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus.Seperti halnya pendaki perempuan termuda Indonesia yang hendak mengibarkan sang saka Merah Putih di Puncak Gunung Elbrus di Rusia.. Ialah Khansa Syahlaa, pendaki berusia 16 tahun tersebut bercerita kepada kumparan soal rencana pendakiannya untuk memeriahkan HUT RI ke-77.
PesulapMerah atau Marcel Radhival. Photo : instagram @marcelradhival1. Dalam podcast Deddy Corbuzier, Marcel secara blak-blakan membongkar trik dari para 'dukun' atau 'paranormal´. Marcel juga kerap menyebut dirinya sebagai pawang dukun atau paranormal. Pesulap Merah tersebut juga terlihat memamerkan sebuah keris yang disebutnya sebagai
.